Ketika mereka menyusuri lorong, Caitlin mencari-cari wajah yang familiar. Mereka yang berlalu umumnya siswa kelas sepuluh dan para adik kelas, dan ia tidak menemukan siapa pun dari kelas seniornya. Tapi saat mereka melewati anak-anak lain, ia terkejut melihat reaksi yang nampak di semua wajah para gadis: setiap gadis benar-benar menatap Caleb. Tidak seorang gadis pun berusaha menyembunyikannya, atau bahkan memalingkan muka. Itu adalah hal yang menakjubkan. Seolah-olah ia menyusuri lorong bersama dengan Justin Beiber.
Caitlin berpaling dan melihat bahwa semua gadis berhenti berjalan, masih memandangi Caleb. Beberapa dari mereka saling berbisik.
Ia menatap Caleb, dan bertanya-tanya apakah dia menyadarinya. Jika dia menyadarinya, dia tidak menunjukkan tanda-tanda itu, dan dia pasti tidak peduli.
"Caitlin?" muncul sebuah suara yang mengejutkan.
Caitlin berpaling dan melihat Luisa berdiri di sana, salah satu gadis yang pernah berteman dengannya sebelum ia pindah.
"Ya Tuhan!" Tambah Luisa dengan riang, merentangkan lengannya lebar-lebar untuk memeluk. Sebelum Caitlin bisa bereaksi, Luisa sudah memeluknya. Caitlin balas memeluknya. Rasanya menyenangkan melihat wajah yang familiar.
"Apa yang terjadi denganmu?" Luisa bertanya, berbicara dengan cepat dan riang, seperti biasanya, sedikit aksen Latinnya mengalir keluar, seperti saat dia baru saja pindah ke sini dari Puerto Rico beberapa tahun sebelumnya. "Aku bingung sekali! Aku kira kau pindah!? Aku mengirim SMS dan IM kepadamu, tapi kau tidak pernah membalas –"
"Aku minta maaf," kata Caitlin. "Aku kehilangan ponselku, dan aku belum ada di dekat komputer sama sekali, dan–"
Luisa tidak mendengarkan. Dia baru saja menyadari Caleb, dan dia sedang menatapnya, terpesona. Mulutnya hampir-hampir menganga.
"Siapa temanmu itu?" akhirnya dia bertanya, hampir berbisik. Caitlin tersenyum: ia tidak pernah melihat temannya begitu salah tingkah sebelumnya.
"Luisa, ini Caleb," kata Caitlin.
"Senang berjumpa denganmu," ujar Caleb, balas tersenyum, mengulurkan tangannya.
Luisa hanya tetap menatapnya. Dia perlahan-lahan mengulurkan tangannya, dengan linglung, jelas-jelas terlalu terkejut untuk berbicara. Dia menatap Caitlin, tidak paham bagaimana Caitlin bisa membawa pria semacam itu. Dia menatap Caitlin dengan cara yang berbeda, hampir seolah-olah dia tidak pernah tahu siapa Caitlin sebelumnya.
"Mm..." Luisa memulai, matanya melebar, "...mm...begini...di mana...begini...bagaimana kalian bertemu?"
Untuk sedetik, Caitlin bingung bagaimana menjawabnya. Ia membayangkan menceritakan semuanya kepada Luisa, dan tersenyum atas gagasan itu. Itu tidak akan berhasil.
"Kami bertemu...setelah sebuah konser," kata Caitlin.
Setidaknya sebagiannya benar.
"OMG, konser apa? Di kota? Black Eyed Peas!?” dia bertanya dengan cepat, “Aku iri sekali! Aku sangat ingin bertemu mereka!"
Caitlin tersenyum karena membayangkan Caleb di sebuah konser rock. Entah kenapa, ia tidak merasa dia cocok di sana.
"Mm...tidak persis seperti itu," kata Caitlin. "Luisa, dengar, maaf karena tidak menjawabmu, tapi aku tidak punya banyak waktu. Aku harus tahu di mana Sam berada. Apakah kau melihatnya?"
"Tentu saja. Semua orang melihatnya. Dia kembali minggu kemarin. Dia kelihatan aneh. Aku bertanya padanya di mana kau berada dan apa urusannya, tapi dia tidak mau memberitahu aku. Dia mungkin tersingkir ke lumbung kosong yang dia sukai."
"Tidak," jawab Caitlin. "Kami baru saja ke sana."
"Sungguh? Maaf. Aku tidak tahu. Dia kelas sepuluh, kan? Kami jarang berselisih jalan. Sudahkah kau mencoba meng-IM dia? Dia selalu aktif di Facebook."
"Aku belum punya ponsel baru—" Caitlin memulai.
"Pakai punyaku," tukas Luisa, dan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, dia menjejalkan ponselnya ke tangan Caitlin.
"Facebook-nya sudah terbuka. Masuk saja dan kirimi dia pesan."
Tentu saja, pikir Caitlin. Kenapa aku tidak terpikir ke sana?
Caitlin masuk ke akunnya, mengetikkan nama Sam di kotak pencarian, menampilkan profilnya, dan mengklik pesan. Ia bimbang, bertanya-tanya apa persisnya yang harus ia tuliskan. Lalu ia mengetikkan; "Sam. Ini aku. Aku ada lumbung. Datanglah untuk menemui aku. SEGERA."
Ia mengklik kirim dan mengembalikan ponsel itu kepada Luisa.
Caitlin mendengar keributan, dan berbalik.
Sekelompok gadis senior paling populer menuju ke lorong, tepat ke arah mereka. Mereka berbisik. Dan semuanya menatap langsung ke arah Caleb.
Untuk pertama kalinya, Caitlin merasakan sebuah emosi baru muncul dalam dirinya. Cemburu. Ia bisa melihat dalam mata mereka bahwa gadis-gadis ini, yang tidak pernah memerhatikan dirinya sebelumnya, akan dengan senang hati menarik Caleb diam-diam dalam sekejap. Gadis-gadis ini telah memikat semua laki-laki di sekolah, cowok mana pun yang mereka inginkan. Tidak peduli apakah mereka punya pacar atau tidak. Kau hanya berharap mereka tidak menatap cowokmu.
Dan sekarang mereka semua menatap Caleb.
Caitlin berharap dan berdoa, semoga Caleb kebal dengan kekuatan mereka. Karena dia mungkin masih menyukai Caitlin. Namun meskipun ia memikirkannya, ia tidak bisa memahami mengapa dia Caleb harus melakukannya. Ia gadis yang biasa-biasa saja. Mengapa dia mau tetap tinggal bersamanya ketika gadis-gadis seperti ini bersedia bersaing untuk mendapatkan dia?
Caitlin berdoa dalam hati bahwa gadis-gadis itu akan terus berjalan. Kali ini saja.
Namun, tentu saja, mereka berhenti. Jantungnya berdegup saat kelompok gadis itu berpaling dan berjalan tepat ke arah mereka.
"Hai Caitlin," salah satu gadis berkata kepadanya, dengan suara manis yang dibuat-buat.
Tiffany. Gadis tinggi dengan rambut pirang lurus, mata biru, dan sekurus tongkat. Mengenakan pakaian desainer dari kepala sampai kaki. "Siapa temanmu itu?"
Caitlin tidak tahu harus berkata apa. Tiffany, dan teman-temannya, tidak pernah menganggap Caitlin sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah menoleh untuk melihatnya seperti saat ini. Ia terkejut karena mereka menyadari bahwa dirinya ada, dan mengetahui namanya. Dan sekarang mereka memulai percakapan. Tentu saja, Caitlin tahu itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Mereka menginginkan Caleb. Sangat menginginkannya sehingga bisa membuat mereka merendahkan diri mereka untuk berbicara kepadanya.
Ini bukan pertanda bagus.
Caleb pasti telah merasakan ketidaknyamanan Caitlin, karena dia mengambil satu langkah lebih dekat ke arahnya dan meletakkan satu tangannya merangkul bahunya.
Caitlin tidak pernah lebih bersyukur untuk setiap gerakan dalam hidupnya.
Dengan keyakinan barunya, Caitlin menemukan kekuatan untuk berbicara. "Caleb," jawabnya.
"Jadi, СКАЧАТЬ